Waspadai Penyakit Kambuhan Usai Lebaran yang Sering Terabaikan

Lebaran identik dengan momen kebahagiaan dan hidangan lezat yang menggoda selera. Namun, di balik kemeriahan itu, tersembunyi potensi bahaya bagi kesehatan. Perubahan mendadak dalam pola makan dan gaya hidup selama masa liburan dapat memicu kambuhnya sejumlah penyakit kronis yang sebelumnya mungkin sudah terkendali. Beberapa penyakit yang rentan kembali muncul antara lain hipertensi, kolesterol tinggi, asam urat, diabetes, dan gangguan lambung seperti maag.

Hipertensi bisa meningkat drastis akibat konsumsi makanan tinggi garam dan kurangnya aktivitas fisik selama libur panjang. Kolesterol tinggi pun kerap menghantui pasca-Lebaran, terutama karena konsumsi gorengan, jeroan, dan makanan bersantan. Asam urat juga tidak kalah mengintai, terutama setelah menyantap seafood dan jeroan yang tinggi purin. Selain itu, pola makan manis yang berlebihan turut berkontribusi pada lonjakan gula darah yang bisa memicu diabetes. Tak kalah penting, gangguan lambung seperti maag sering muncul akibat makan tidak teratur dan konsumsi makanan pedas atau berlemak berlebihan.

Untuk mencegah risiko tersebut, penting menerapkan gaya hidup sehat pasca-Lebaran. Konsumsi makanan seimbang, perbanyak buah dan sayur, serta pilih metode memasak yang sehat seperti mengukus atau merebus. Jaga porsi makan, perbanyak minum air putih, dan lakukan aktivitas fisik ringan secara rutin. Selain itu, istirahat cukup dan pengelolaan stres yang baik turut membantu menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan agar tetap prima setelah masa perayaan.

Diabetes Tipe 2 dan Gagal Ginjal: Ancaman Nyata yang Dapat Dicegah

Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit kronis yang dapat berujung pada komplikasi serius, termasuk gagal ginjal. Menurut dr. Tunggul D. Situmorang, Sp.PD-KGH, ada keterkaitan erat antara diabetes tipe 2 dan penyakit ginjal kronis. Ia menyoroti meningkatnya jumlah penderita diabetes secara global, dari 537 juta pada 2021 dan diperkirakan mencapai 783 juta pada 2045. Di Indonesia, jumlah pengidap diabetes terus bertambah, yang berdampak pada peningkatan kasus penyakit ginjal kronis.

Dr. Tunggul menjelaskan bahwa penyakit ginjal berkembang melalui lima tahap, dari G1 hingga G5, di mana tahap terakhir memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis atau transplantasi. Agar penderita diabetes tidak mencapai tahap ini, ada tiga faktor utama yang harus dikendalikan, yaitu tekanan darah tinggi, kadar gula darah yang tidak terkontrol, serta peradangan dan fibrosis pada ginjal. Salah satu cara mendeteksi risiko dini gagal ginjal adalah melalui pemeriksaan albuminuria, yang mengidentifikasi kebocoran protein dalam urine. Jika jumlahnya melebihi 300 mg, maka kondisi tersebut harus ditangani segera meskipun fungsi ginjal masih terlihat normal.

Dalam pengobatan diabetes tipe 2 yang berhubungan dengan penyakit ginjal, terdapat tiga pilar utama yang harus diperhatikan, yaitu penggunaan obat antihipertensi untuk menjaga tekanan darah tetap stabil, obat SGLT2 inhibitor yang dapat membantu melindungi ginjal sekaligus mengontrol gula darah, serta finerenone yang mampu mengurangi peradangan dan fibrosis. Penelitian menunjukkan bahwa finerenone dapat menurunkan kebocoran protein dalam urine hingga 30 persen dalam waktu empat bulan, sehingga direkomendasikan oleh American Diabetes Association.

Pencegahan gagal ginjal pada penderita diabetes tipe 2 membutuhkan pendekatan menyeluruh, termasuk pemantauan rutin fungsi ginjal dan kepatuhan terhadap pengobatan yang disarankan dokter. Dengan langkah-langkah yang tepat, risiko komplikasi dapat ditekan sehingga penderita diabetes dapat hidup lebih sehat dan berkualitas.

Sensasi Kesemutan: Penyebab, Cara Mengatasi, dan Kapan Harus Waspada

Kesemutan adalah sensasi yang sering dialami banyak orang, terutama setelah duduk atau jongkok terlalu lama. Sensasi ini dikenal dalam dunia medis sebagai parestesia, yang terjadi akibat iritasi pada saraf dan menghasilkan sinyal tambahan. Beberapa orang menggambarkannya sebagai rasa geli, terbakar, atau bahkan nyeri pada bagian tubuh tertentu, seperti tangan, kaki, atau lengan. Parestesia bisa bersifat sementara ketika bagian tubuh terasa “mati rasa” atau dalam beberapa kasus bisa menjadi kondisi permanen yang berhubungan dengan masalah medis serius. Salah satu cara sederhana untuk mengatasi kesemutan adalah dengan mengurangi tekanan pada saraf yang terdampak. Pastikan tidak ada bagian tubuh yang terhimpit, misalnya dengan mengubah posisi duduk atau menghindari bersandar pada satu lengan. Pergerakan ringan juga dapat membantu meningkatkan sirkulasi darah, yang berperan penting dalam meredakan ketidaknyamanan. Jika tangan mengalami kesemutan, mengepal dan membuka telapak tangan beberapa kali bisa membantu melancarkan aliran darah. Sedangkan jika terjadi pada kaki, menggoyangkan jari-jari kaki dapat membantu meredakan sensasi tersebut. Untuk kesemutan di lengan, menggerakkan kepala secara perlahan dapat mengurangi tekanan di leher dan meredakan gejala.

Meskipun kesemutan umumnya tidak berisiko, dalam beberapa situasi, gejala yang terjadi dalam jangka waktu lama dapat mengindikasikan adanya kondisi kesehatan yang lebih serius. Parestesia kronis dapat disebabkan oleh berbagai kondisi medis seperti stroke, multiple sclerosis, peradangan otak atau sumsum tulang belakang, serta gangguan saraf lainnya. Faktor lain seperti diabetes, hipotiroidisme, hiperventilasi, atau bahkan paparan zat beracun juga dapat memicu kondisi ini. Beberapa obat dan pola makan yang kurang sehat juga bisa menjadi pemicunya. Jika kesemutan terjadi terus-menerus dan semakin parah meskipun sudah mencoba berbagai cara untuk meredakannya, sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter. Mengubah posisi atau melakukan gerakan ringan biasanya cukup untuk mengatasi kesemutan sementara. Namun, jika gejala terus berlanjut, bisa jadi ini merupakan tanda dari masalah kesehatan yang lebih serius yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.