Merokok dan Alkohol, Dua Kebiasaan yang Diam-Diam Tingkatkan Risiko Kanker Payudara

Setiap perempuan memiliki kemungkinan sekitar 13 persen untuk mengalami kanker payudara sepanjang hidupnya. Risiko ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti keturunan, pola makan, dan gaya hidup sehari-hari. Dari sekian banyak pemicu, merokok dan konsumsi alkohol menjadi dua kebiasaan yang paling sering dikaitkan dengan meningkatnya risiko kanker payudara menurut berbagai penelitian medis.

Merokok bukan hanya pemicu utama kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan, tetapi juga berperan dalam kerusakan jaringan tubuh termasuk jaringan payudara. Kandungan zat berbahaya dalam asap rokok diketahui bersifat karsinogenik dan mampu memicu pertumbuhan sel tidak normal. Perempuan yang aktif merokok atau memiliki riwayat merokok memiliki risiko lebih besar terkena kanker payudara dan kemungkinan kambuh setelah pengobatan. Berhenti merokok, bahkan setelah diagnosis kanker, tetap memberikan manfaat kesehatan yang signifikan.

Selain itu, konsumsi alkohol juga berkontribusi terhadap risiko kanker payudara. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang mengonsumsi dua gelas alkohol atau lebih setiap hari memiliki risiko 20 persen lebih tinggi dibandingkan yang tidak minum alkohol sama sekali. Alkohol dapat merusak sel tubuh, meningkatkan hormon estrogen, menyebabkan kenaikan berat badan, serta mengganggu penyerapan nutrisi penting seperti asam folat. Semua efek ini saling berkaitan dengan tumbuhnya sel kanker. Bagi mereka yang sedang menjalani kemoterapi atau radioterapi, disarankan untuk benar-benar menghindari alkohol dan berkonsultasi dengan dokter untuk mengetahui batas konsumsi yang aman.

Jaga Ginjal Sehat, Hindari Gaya Hidup Berisiko

Dalam acara Gebyar Ramadan 1446 yang digelar oleh PDA Kota Batu di Gedung Graha Pancasila, Balai Kota Among Tani Batu, pada Sabtu (22/3/2025), dr. Achmad Rifai SpPD-KGH-FINASM membagikan berbagai tips penting untuk menjaga kesehatan ginjal. Ia menjelaskan bahwa gagal ginjal kronis merupakan kondisi kerusakan ginjal yang berlangsung lebih dari tiga bulan, di mana ginjal mengalami penyusutan akibat proses pengapuran dan kehilangan fungsinya lebih dari 60%.

Ginjal yang tidak berfungsi optimal akan mengalami gangguan dalam pembentukan vitamin D dan eritropoietin, serta kesulitan dalam membuang zat sisa seperti air, urea, dan kreatinin. Pemeriksaan urine dan USG menjadi cara utama untuk mendeteksi penyakit ini. Gagal ginjal kronis terbagi dalam lima tahap, mulai dari ditemukannya protein dalam urine pada tahap awal hingga kondisi ginjal yang sepenuhnya tidak berfungsi pada tahap akhir, yang mengharuskan pasien menjalani cuci darah.

Di Indonesia, hipertensi dan diabetes menjadi penyebab utama gagal ginjal. Kedua kondisi ini tidak disebabkan oleh konsumsi obat anti-hipertensi atau obat diabetes, melainkan akibat tekanan darah dan kadar gula darah yang tidak terkontrol. Faktor lain yang berkontribusi terhadap hipertensi meliputi pola makan tinggi garam, obesitas, merokok, stres, kolesterol tinggi, dan faktor genetik. Dr. Rifai juga mengingatkan bahaya minuman kemasan yang mengandung natrium serta gula tinggi, yang dapat merusak ginjal jika dikonsumsi berlebihan.

Untuk mencegah gagal ginjal kronis, seseorang perlu mengenali faktor risiko, menerapkan pola hidup sehat, mengonsumsi lebih banyak protein dan serat, membatasi karbohidrat, serta rutin berolahraga. Selain itu, terdapat juga gagal ginjal akut, yang berbeda dari gagal ginjal kronis karena masih dapat pulih jika penyebabnya diatasi dengan baik, seperti dehidrasi akibat diare yang dapat membaik dengan hidrasi yang cukup.

Sebagai penutup, dr. Rifai menegaskan bahwa kebiasaan yang dijalani hari ini akan menjadi investasi kesehatan di masa depan. Dengan menerapkan gaya hidup sehat sejak dini, manfaatnya akan terasa dalam jangka panjang.