Musim hujan membawa berbagai risiko kesehatan, termasuk penularan leptospirosis, penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira yang ditularkan melalui air kencing tikus. Untuk mengurangi risiko, masyarakat diimbau untuk meningkatkan kewaspadaan dan menjaga kebersihan lingkungan.
“Sejak Januari hingga November 2024, kami mencatat tujuh kasus leptospirosis dengan satu korban meninggal dunia,” ujar Kepala Seksi Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogyakarta, Endang Sri Rahayu, di Yogyakarta, Rabu (4/12/2024).
Tidak Ada Lonjakan Kasus, Tetap Waspada
Meski belum terjadi lonjakan kasus leptospirosis selama musim hujan, Dinkes Kota Yogyakarta tetap mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Tikus, sebagai pembawa bakteri Leptospira, cenderung lebih aktif berkembang biak di lingkungan yang lembap akibat curah hujan tinggi.
“PHBS dapat dilakukan dengan cara sederhana seperti mencuci tangan dengan sabun setelah beraktivitas di tempat yang berisiko,” jelas Endang.
Genangan air pascahujan berpotensi tercemar oleh kencing tikus, sehingga menjadi sumber paparan bakteri. Selain itu, tumpukan sampah rumah tangga, khususnya limbah makanan, yang bercampur dengan genangan air juga dapat memancing tikus untuk datang dan menyebarkan bakteri.
“Jika masyarakat konsisten menerapkan PHBS, risiko leptospirosis bisa diminimalkan,” tambahnya.
Survei Tikus: Temuan Penting
Pada awal tahun 2024, Dinkes Kota Yogyakarta melakukan survei terhadap populasi tikus di sejumlah wilayah. Hasilnya, ditemukan tikus yang positif membawa bakteri Leptospira di salah satu kecamatan. Hal ini menjadi pengingat bahwa pencegahan harus dilakukan secara berkelanjutan.
Lana Unwanah, Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinkes Kota Yogyakarta, menjelaskan bahwa leptospirosis ditularkan melalui kontak dengan air, lumpur, atau lingkungan yang tercemar kencing tikus.
“Bakteri ini masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau selaput lendir,” ujarnya. Aktivitas seperti menyentuh air di sungai, selokan, atau lumpur tanpa perlindungan meningkatkan risiko infeksi.
Gejala dan Tindakan Pencegahan
Lana menyebut beberapa gejala yang mungkin dialami oleh penderita leptospirosis, antara lain:
- Demam tinggi.
- Nyeri kepala.
- Nyeri otot, terutama di betis dan paha.
- Mata kuning, merah, atau iritasi.
- Diare.
Jika masyarakat mengalami gejala tersebut, terutama setelah melakukan aktivitas yang berisiko, seperti bekerja di lingkungan yang terkontaminasi urine tikus, mereka dianjurkan untuk segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat.
“Hingga saat ini, kasus leptospirosis masih terkendali. Namun, masyarakat harus tetap waspada dan aktif mencegah penyakit ini,” tegas Lana.
Langkah Pencegahan Leptospirosis
Demi mencegah penularan leptospirosis, masyarakat dapat melakukan langkah-langkah berikut:
- Selalu mencuci tangan dengan sabun setelah beraktivitas.
- Mengelola sampah dengan baik, terutama limbah makanan, agar tidak memancing tikus.
- Menghindari kontak langsung dengan genangan air, sungai, atau lumpur tanpa perlindungan seperti sepatu bot.
- Menutup luka terbuka untuk mencegah masuknya bakteri.
Dengan langkah pencegahan yang konsisten, risiko leptospirosis dapat diminimalkan, terutama selama musim hujan.
Leptospirosis adalah penyakit serius yang dapat dicegah dengan penerapan pola hidup bersih dan sehat. Masyarakat diimbau untuk menjaga kebersihan lingkungan, terutama selama musim hujan, guna mengurangi risiko penularan bakteri Leptospira.
Artikel ini dioptimalkan dengan kata kunci seperti leptospirosis musim hujan, pencegahan leptospirosis, dan gejala leptospirosis untuk meningkatkan visibilitas di mesin pencari. 😊